Putu Laxman Pendit
Abstrak
Artikel ini
mencoba menjelaskan fenomena penggunaan teori di dalam penelitian-penelitian
Ilmu Perpustakaan & Informasi dengan membahas persoalan epistemologi,
meta-teori, dan filsafat yang mendasari kegiatan penelitian ilmiah.
Keragaman penggunaan teori menjadi fokus perhatian artikel ini. Dengan
membahas berbagai bentuk penggunaan teori, termasuk hukum (law) dan model, serta dengan mengaitkan
penggunaan teori ke pemikiran-pemikiran yang melandasinya, artikel ini
diharapkan dapat membantu para peneliti bidang perpustakaan dan informasi
dalam menentukan langkah-langkah yang tepat ketika memilih sebuah teori.
Sekaligus pula, pembahasan tentang keragaman teori tersebut diharapkan
dapat memperjelas posisi epistemologi Ilmu Perpustakaan & Informasi
sebagai sebuah bidang yang lintas-disiplin. Di bagian kesimpu;an penulis
membuat sebuah pola yang memperlihatkan kaitan antara filsafat, epistemologi,
meta-teori, dan teori sebagai serangkaian jejak yang dapat dilacak dan
diperiksa setiap kali kita ingin membahas perkembangan penggunaan teori
di dalam Ilmu Perpustakaan & Informasi.
- Pendahuluan
Sebelum memulai
pembahasan, perlu disampaikan bahwa artikel ini berkaitan dengan dua
hal. Pertama, dengan pembahasan tentang Ilmu Perpustakaan dan Informasi
(selanjutnya disingkat IP&I), khususnya pembahasan tentang epistemologi,
yang penulis sampaikan di Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional : Information
for Society: Scientific Point of View, di PDII-LIPI, Jakarta pada 20
- 21 Juli 2011. Mengingat keterbatasan waktu di seminar tersebut, artikel
itu tak sempat membahas aspek penerapan epistemologi dalam bentuk penggunaan
teori. Kedua, artikel ini juga berkaitan dengan upaya penulis menjawab
berbagai pertanyaan dari mahasiswa -- baik di tingkat sarjana maupun
pasca sarjana, dan bahkan di tingkat doktoral -- yang mempersoalkan
penggunaan teori di dalam penelitian mereka, khususnya ketika IP&I
dilihat dalam konteks lintas-disiplin. Pada umumnya para penanya ingin
memastikan bahwa di dalam penelitian IP&I mereka boleh menggunakan
teori-teori dari disiplin lain, selagi belum ada teori IP&I itu
sendiri.
Penulis juga perlu
menggarisbawahi bahwa ada kaitan amat erat antara epistemologi, teori,
dan sifat lintas-disiplin dari sebuah ilmu. Pembahasan epistemologi
sebenarnya memang pembahasan tentang landasan ilmu, khususnya yang berkaitan
dengan bagaimana sebuah ilmu (melalui ilmuwan dan penelitiannya) menemukan
kebenaran. Setiap teori yang digunakan dalam sebuah penelitian tentu
saja juga merupakan kebenaran (walaupun mungkin bersifat sementara)
yang dipercaya oleh peneliti tentang suatu hal, sehingga amat berkaitan
dengan pandangan epistemologis si peneliti. Sementara dalam konteks
lintas-disiplin, jelaslah bahwa IP&I membahas sebuah fenomena yang
terkadang hanya dapat diperiksa melalui berbagai ‘kacamata’ berbeda,
dan oleh karena itu penelitian-penelitian IP&I seringkali menggunakan
beragam teori. Keragaman inilah yang sering pula menimbulkan pertanyaan:
apakah sesungguhnya IP&I memiliki epistemologi, ataukah ia sebenarnya
menggunakan (beberapa) epistemologi orang lain? Apakah benar bahwa IP&I
adalah sebuah ilmu, atau ia hanyalah sebuah penerapan dari ilmu-ilmu
lain; seperti sebuah ladang bagi penggarap-penggarap yang datang dari
berbagai penjuru? Mudah-mudahan di bagian terakhir dari artikel ini
kita sama-sama dapat menjawab pertanyaan yang lebih mirip gugatan itu.
Untuk menjaga sistematika, artikel ini akan dibagi dalam tujuh bagian,
termasuk bagian kesimpulan. Pada bagian awal penulis merasa perlu menguraikan
pengertian teori secara umum sebagai bagian dari sebuah disiplin atau
ilmu. Pada bagian-bagian berikutnya berturut-turut akan dibahas berbagai
bentuk penggunaan teori, termasuk beberapa contohnya di bidang IP&I.
Tiga bagian yang terakhir membahas masalah yang lebih mendasar, yaitu
landasan pemikiran teoritis, epistemologi, dan falsafat ilmu. Secara
khusus akan dibahas pula konsep meta-teori (meta-theory) yang merupakan upaya memperjelas
mengapa sebuah teori digunakan untuk penelitian tertentu. Bagian tersebut
amat penting mengingat tujuan artikel ini antara lain menjawab pertanyaan
para mahasiswa ketika mereka harus memilih teori apa yang akan mereka
gunakan di sebuah penelitian. Pemilihan ini tentu saja harus lebih seksama,
dan bukan karena teori yang bersangkutan kebetulan sedang popular di
saat tertentu. Pembahasan tentang meta-teori ini akan mengantar kita
ke bagian kesimpulan yang berisi rangkuman proses penggunaan teori sebagai
sebuah jejak-langkah yang terpola. Itulah sebabnya, artikel ini berjudul
seperti di atas.
- Pengertian ‘Teori’
Jika kita bicara
tentang penelitian ilmiah, maka bentuk paling kongkrit dari sebuah teori
adalah sebuah pernyataan tertulis, sebagaimana yang dapat kita baca
sebagai bagian dari sebuah buku teks atau bagian dari artikel di jurnal
ilmiah. Kita lalu mengutipnya, dan menyebut siapa penulis atau pencetusnya.
Sebab itulah seringkali sebuah teori dalam laporan penelitian semata-mata
adalah sebuah kutipan dari seorang ilmuwan tertentu. Sebagaimana yang
dikatakan Durbin (1988) teori memang adalah pernyataan karena ia adalah bagian dari
upaya ilmuwan untuk mengungkapkan pemikiran atau idenya. Pernyataan
itu ditujukan untuk memperjelas atau memahami serangkaian fakta dan
data yang semula terkesan rumit atau bahkan tidak bermakna. Secara lebih
rinci, Michalos (1980) membagi pengertian teori dalam lima kategori,
yaitu:
1. Teori sebagai pernyataan yang aksiomatis (axiomatic)1 untuk
memberi makna atau pengertian tentang serangkaian fakta yang sebelumnya
membingungkan atau tidak bermakna.
2. Teori sebagai upaya menyusun data dan fakta secara sistematis,
walaupun pernyataan-pernyataannya belum tentu aksiomatis.
3. Teori dianggap sebagai generalisasi tak terbatas tentang kebenaran
universal yang diaati oleh para ilmuan; di sini teori dianggap sebagai
“hukum” tentang kebenaran.
4. Teori sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan ilmiah, tanpa
bentuk yang pasti atau seragam.
5. Teori sebagai aturan-aturan
untuk mengambil kesimpulan dalam proses penelitian.
Menurut sejarahnya,
istilah ‘teori’ pertama-tama dipakai oleh ilmu-ilmu pasti alam (sains),
baru kemudian oleh ilmu-ilmu sosial dan budaya. Dalam sains, teori mengalami
perkembangan awal yang amat pesat. Secara klasik perkembangan teori
ini mengikuti proses “description, prediction, explanation”
(penggambaran, pendugaan/peramalan, penjelasan). Tentu saja sulit menyelidiki
sesuatu tanpa menggambarkan sesuatu itu terlebih dahulu. Dari penyelidikan
diperolehlah pengetahuan. Lalu, ketika sudah ada beberapa pengetahuan
tentang sebuah fenomena itu, dimungkinkanlah pendugaan keterkaitan,
proses, atau urutan kejadan (sequences) tentang fenomena tersebut. Lalu,
berdasarkan pengujian tentang dugaan-dugaan tersebut, dikembangkanlah
penjelasan, dan inilah yang kemudian disebut teori. Dalam bidang sains
pula lah pengertian teori dikaitkan dengan metode ilmiah yang biasa
disebut metode naif untuk melakukan kesimpulan secara induksi-deduksi
(naïve inductive-deductive method) (Ben-Ari, 2005).
Dalam ilmu sosial-budaya,
penggunaan teori juga mengalami perkembangan dan dinamika. Sebagaimana
diuraikan Ellis dan Swoyer (2008), pada mulanya teori sosial didominasi
pandangan positivistik-logis (logical-postivist), yaitu teori sebagai
hasil deduksi berdasarkan prinsip dasar tertentu, sebagaimana yang biasa
dilakukan di sains. Teori sosial diuji dengan membuat ramalan (prediksi)
berdasarkan prinsip dasar atau hukum (laws) tertentu, dan peneliti kemudian menetapkan
apakah prediksi itu benar atau salah. Pada tahun 1960an pandangan yang
positivistik tentang teori ini mulai mendapat kritik, sehingga akhirnya
sudah tak dominan lagi di ilmu sosial-budaya. Hukum ilmiah menjadi kurang
berperan, sementara model menjadi lebih sering dibicarakan. Kita akan
kembali ke pembahasan tentang hukum dan model di bagian berikut nanti.
Walaupun tak lagi dominan
di ilmu sosial, menurut Sarantakos (1998) pengertian teori yang digunakan
oleh ilmu pasti-alam tetap mendominasi pengertian umum, yaitu sebagai
serangkaian proposisi (atau pernyataan tentang kebenaran) yang sudah
diuji secara sistematis dan dikaitkan secara logis, dibangun melalui
serangkaian penelitian untuk menjelaskan suatu fenomena. Pembuatan teori
dalam pengertian ini didasarkan pada cara-cara sistematis yang mengandung
prosedur yang jelas, eksplisit dan formal di setiap langkah penelitian. Secara
garis besar, langkah-langkah ini terdiri dari (1) pembuatan konsep
dan variabel, (2) pembuatan kategorisasi atau sistem klasifikasi, (3)
penyusunan proposisi, yaitu pengembangan pernyataan umum tentang keterkaitan
antar beberapa konsep, dan akhirnya (4) pengungkapan proposisi ini sebagai
teori. Cara seperti ini lazim digunakan dalam penelitian ilmu pasti
alam atau sains, serta di dalam penelitian sosial yang memakai paradigma
sains.
Dalam perkembangannya,
pengertian teori juga dikembangkan oleh peneliti-peneliti non-sains,
terutama oleh mereka yang menolak paham positivisme. Para peneliti sosial-budaya
menolak penyederhanaan fenomena masyarakat sebagai hubungan sebab-akibat
yang digambarkan dalam rumus-rumus statistik sebagaimana lazim digunakan
di sains. Mereka mengembangkan berbagai pendekatan yang lazim disebut
pendekatan kualitatif. Menurut Schwandt (2001), para peneliti kualitatif
memakai pengertian yang sedikit berbeda, terutama karena teori tak hanya
merupakan sebuah penjelasan, melainkan juga sebuah orientasi atau perspektif
seorang peneliti dalam melihat masalah, memecahkan masalah, dan memahami
serta menjelaskan realitas sosial. Dengan demikian, teori juga merupakan
cara pandang seseorang terhadap dunia kehidupannya (world view).
Selain itu, ada juga
yang disebut Teori Kritis (Critical Theory), yang bukan hanya sebuah
teori, melainkan keseluruhan cara membuat teori dan produk dari cara
membuat teori itu2. Cara
ini bertentangan dengan cara pandang yang sudah umum atau lazim karena
memang merupakan upaya sengaja untuk mengkritik konsep, pemahaman, atau
kategori tentang kehidupan manusia yang sudah ada sebelumnya. Selain
itu, Teori Kritis juga menganggap teori sebagai sesuatu yang melekat
kepada praxis, kepada praktik dan kehidupan sehari-hari. Para ilmuwannya
beranggapan bahwa bahwa seorang ilmuan harus "punya kepentingan"
dan setiap teori sekaligus punya nilai empiris (praktis) selain normatif.
Perbedaan pengertian teori juga dapat muncul karena pandangan yang menekankan
cara dan proses pembentukan teori. Misalnya, Strauss dan Corbin (1998),
para penganjur grounded theory yang sering dipakai oleh para peneliti sosial
dengan pendekatan kualitatif, berpendapat bahwa teori memang dibangun
dari konsep dan proposisi sebagaimana yang diuraikan di atas. Tetapi
mereka menegaskan bahwa metodologi grounded theory akan menghasilkan teori
yang “padat konsep” karena para penelitinya lebih berupaya mengungkapkan
proses yang sesungguhnya terjadi di dalam interaksi antar manusia. Setelah
mengamati sebuah proses secara seksama dan terinci, para peneliti grounded
theory menemukan pola dan tahap yang secara analitis dapat dilihat
sebagai bagian-bagian yang terpisah tetapi mempunyai keterkaitan. Identifikasi
pola dan tahap inilah yang merupakan konseptualisasi atau penemuan konsep,
yang kemudian dilanjutkan dengan proposisi dan akhirnya teori. Dengan
kata lain, terjadi proses dari bawah ke atas (bottom up) dan dari data “kasar” ke
konsep yang semakin “halus”.
Sementara itu
kita juga musti ingat, bahwa jika teori-teori ilmu alam pada umumnya
datang dari pengamatan terhadap jagat raya dan fenomena alam untuk menjelaskan
gejala itu, maka teori-teori ilmu sosial sebenarnya juga muncul dari
pandangan tentang moral. Sebagaimana dijelaskan oleh Heilbron (1995),
teori ilmu sosial pada awalnya bukan hanya merupakan upaya menjelaskan
“apa yang dilakukan manusia “ atau “bagaimana manusia bertingkah
laku”, tetapi juga “bagaimana seharusnya manusia bertindak dengan tepat
dan bijaksana di dalam lingkungan sosialnya”. Selain 5 ilmu alam dan
ilmu sosial, ilmu budaya juga punya cara mereka sendiri memandang teori.
Misalnya, dalam antropologi, teori dianggap sebagai bagian atau cabang
dari tiga hal sekaligus yaitu sains, humanisme, dan religi dalam rangka
menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik, yaitu: “Dari mana kita (manusia)
datang? Kenapa kita berbeda-beda? Bagaimana kehidupan ini berlangsung?”
(lihat Erickson dan Murphy, 2003).
Terlepas dari
variasi pandangan tentang arti teori di atas, sebagaimana dikatakan
oleh Connaqway dan Powell (2010), teori pada dasarnya adalah sebuah
penjelasan sistematik untuk mengamati sesuatu yang berkaitan dengan
aspek kehidupan tertentu, saling berkait sesuai logika, menjawab mengapa
kejadian berlangsung seperti itu, dan mengandung penjelasan yang padu
tentang suatu fenomena. Dari segi ini, maka teori sebenarnya adalah
serangkaian konsep yang dapat digunakan untuk memandang keadaan yang
sesungguhnya, tetapi sekaligus juga konsep itu adalah hasil pemandangan
(persepsi) manusia atas keadaan sekelilingnya. Itulah sebabnya, sebagaimana
diulas Weick (2012), seringkali teori dikaitkan dengan pernyataan filsuf
Immanuel Kant “persepsi tanpa konsep adalah buta, konsep tanpa persepsi
adalah kosong” (perception without conception is blind; conception
without perception is empty)”. Secara hakiki, sebagaimana dibahas Best (2004)
setiap teori akhirnya memiliki empat elemen, yaitu:
• Epistemologi
– atau teori tentang pengetahuan (theory of knowledge) yang merupakan penjelasan
tentang ‘bagaimana manusia dapat mengetahui/mempelajari apa yang manusia
perlu ketahui”. Semua teori mengandung petunjuk tentang bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan tentang suatu hal.
• Ontologi
– atau teori tentang realita untuk menjelaskan atau memberikan dasar
pemahaman tentang kenyataan, atau tentang apa saja gejala yang nyata
dapat dipelajari.
• Lokasi
historis – untuk menjelaskan bilamana teori tersebut pertama dibentuk,
dalam konteks situasi seperti apa, agar pengguna teori memiliki pengetahuan
latarbelakang tentang teori yang bersangkutan.
- Serangkaian usulan (prescription) – untuk digunakan sebagai panduan dalam kegiatan sehari-hari sebagai mahluk sosial.
Kita akan kembali
membicarakan keempat elemen ini di bagian terakhir menjelang kesimpulan
artikel ini. Untuk sementara, dari pembahasan di atas hal terpenting
yang perlu kita tegaskan di sini adalah bahwa semua teori merupakan
pernyataan tentang kebenaran berupa serangkaian konsep. Ini perlu dipertegas
dalam konteks “teori dan praktik”, khususnya di bidang-bidang yang
mengutamakan aspek praktis, seperti bidang perpustakaan dan informasi
yang kita geluti ini. Bidang ini seringkali dilihat sebagai sekumpulan
kegiatan praktis yang mengandung serangkaian aktivitas prosedural untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan kongkrit, sehingga hal-hal yang teoritis
dianggap kurang perlu. Pandangan seperti ini sudah amat lama terjadi,
sebagaimana dikeluhkan oleh Pierce Butler yang menulis lebih dari 70
tahun yang lalu:
"…the
librarian is strangely uninterested in the theoretical aspects of his
profession….The librarian apparently stands alone in the simplicity
of his pragmatism: a rationalization of each immediate technical process
by itself seems to satisfy his intellectual interest. Indeed any endeavor
to generalize these rationalizations into a professional philosophy
appears to him, not merely futile, but positively dangerous." (Butler, 1933; xi-xii).
Sebenarnya ketidak-tertarikan
pustakawan pada aspek teoritis tidaklah mengherankan. Dalam kegiatan
sehari-hari, pustakawan lebih memerlukan catatan petunjuk kerja (manual)
atau catatan prosedural untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Buku-buku
petunjuk, misalnya AACR untuk melakukan pengatalogan dan DDC untuk menetapkan
nomor klasifikasi, lebih dianggap diperlukan dalam pekerjaan sehari-hari.
Kegiatan lain, seperti pelayanan rujukan atau sirkulasi, lebih banyak
dilakukan berdasarkan pengalaman “turun temurun” (yang mungkin tercatat,
dan mungkin juga tidak) di kalangan pustakawan. Dari keadaan inilah,
seringkali pendidikan profesi pustakawan juga tak terlalu merasa perlu
menyentuh teori atau bahkan tak perlu berlandaskan ilmu.
Lebih dari satu dekade
yang lalu, Biggs sudah menyinggung hal ini dan menegaskan (atau mungkin
menggerutu) bahwa ”ilmu perpustakaan” tak pernah ada, melainkan
yang ada adalah ”kepustakawanan” (librarianships). Ia mengambil posisi lebih
tegas karena berkonsentrasi pada produk sekolah-sekolah IP&I yang
memang bertujuan menghasilkan para pustakawan sebagai pekerja di perpustakaan.
Menurutnya,
Librarianship
(I have never felt comfortable calling it library "science")
is not a discipline, nor has it the potential to become one. (…) There
is no unified science, no discipline; therefore, the field does not
yield theory or attract many theorists or scientists or even very many
serious intellectuals (1991 : 192).
Biggs mengatakan,
kepustakawanan adalah sebuah “professional study”, bukan sebuah “academic
discipline” karena hanya berkonsentrasi pada persoalan-persoalan
teknis yang membutuhkan solusi-solusi teknis pula. Memang, untuk memecahkan
persoalan tersebut kadang-kadang diperlukan berbagai ilmu dan teori,
mulai dari ekonomi, sosiologi, psikologi, matematik, ilmu komputer,
linguistik (untuk klasifikasi dan analisis isi buku, misalnya), sejarah,
ilmu hukum (misalnya untuk persoalan hak cipta), manajemen, ilmu politik,
fisafat, sampai kimia (misalnya untuk persoalan pelestarian bahan pustaka).
Namun, menurut Biggs, pustakawan tak perlu menjadi ilmuwan dari berbagai
cabang ilmu tersebut, dan perpustakaan hanyalah objek bagi ilmu-ilmu
tersebut, sama halnya dengan rumah sakit dan segala kegiatan di dalamnya
adalah objek dari berbagai ilmu (mulai dari manajemen, ilmu hukum, sampai
ilmu gizi). Sebab itulah pustakawan sering tak merasa perlu mempersoalkan
teori dan ilmu, karena toh mereka hanya mempraktikkan apa yang sudah
diteliti atau dikembangkan oleh berbagai ilmu lain.
Keadaan di Indonesia
tak jauh berbeda dari sinyalemen Biggs di atas. Kajian yang dilakukan
oleh Laksmi dan Wijayanti (2012) memperlihatkan betapa miskinnya penelitian
IP&I di kalangan akademisi dan praktisi perpustakaan. Kalaupun ada
penelitian, penekanannya lebih kepada pemecahan masalah-masalah teknis,
khususnya dalam hal pengembangan dan pengelolaan koleksi. Banyak pula
kajian yang dilakukan hanya sebagai evaluasi terhadap efisiensi kerja
dan efektivitas layanan perpustakaan. Ini tak terlalu mengherankan,
sebab tujuan utama dari pendidikan profesionalisme pustakawan di Indonesia
memang adalah menghasilkan tenaga-tenaga trampil yang siap bekerja.
Tidaklah pada tempatnya mengembangkan diskusi tentang pendidikan profesi
dan profesionalisme pustakawan di makalah ini. Kita harus kembali ke
pokok persoalan, yaitu penggunaan teori dalam penelitian IP&I. Sesungguhnyalah,
terlepas dari orientasi pendidikan IP&I yang terlalu teknis demi
menghasilkan pekerja-pekerja profesional, telah banyak dilakukan penelitian
IP&I yang menggunakan berbagai macam teori. Pettigrew dan McKechnie
(2001) pernah melakukan penelitian terhadap 1.160 artikel yang terbit
di enam jurnal IP&I dari tahun 1993 sampai 1998. Mereka menemukan
bahwa 34,1% dari artikel itu menggunakan teori, terutama teori yang
"dipinjam" dari ilmu sosial (45,4% dari artikel-tersebut),
ilmu pasti-alam (19,3%) dan humaniora (5,4%) selain teori orisinal di
bidang ilmu informasi (29,9%). Temuan ini menegaskan temuan-temuan sebelumnya
yang menyatakan bahwa pada umumnya artikel di bidang ilmu perpustakaan
dan informasi mencerminkan subyek cakupan yang amat luas sehingga mengandung
beragam teori. Selain itu terdapat perbedaan konseptual dalam cara memandang
dan menggunakan teori di kalangan IP&I. Banyak penulis, menurut
Pettigrew dan McKechnie, ragu-ragu memutuskan apakah mereka menggunakan
teori atau model, atau semata-mata metode dan hasil penelitian. Namun
mereka juga mencatat ada 100 penulis yang teorinya dianggap orisinal
di bidang perpustakaan dan informasi. Untuk lebih merasuk ke isu utama
ini, kita perlu membahas lebih lanjut pengertian teori, hukum, dan model.
- Teori sebagai Hukum dan Rumus untuk Pengukuran
“Hukum”
(laws) digunakan dalam sains untuk menggambarkan kejadian atau
fenomena di alam semesta ini yang sudah dianggap pasti. Salah satu contoh
hukum yang popular di sains dan fisika adalah Hukum Pergerakan Planet
karya Kepler yang menggambarkan secara pasti bagaimana pola pergerakan
benda-benda di alam semesta. Namun hukum seringkali tidak memberikan
penjelasan lebih jauh, misalnya mengapa mereka planet bergerak seperti
itu. Maka seringkali hukum dalam sains harus dikembangkan lebih lanjut
menjadi teori; atau dengan kata lain, hukum seringkali adalah bagian
dari sebuah teori. Ini tidak berarti bahwa hukum tak lebih berguna dari
teori, sebab seringkali hukum berbentuk formula atau rumus yang memudahkan
sebuah penelitian ilmiah. Selain itu, sebagaimana dikatakan Naggel (1979),
hukum yang digunakan dalam eksperimen (experimental laws) seringkali adalah tentang
hal-hal yang mudah dilihat (observable), misalnya hukum tentang perilaku
gas (gas laws) yang mengaitkan tekanan, temperatur, dan volume,
merupakan hukum tentang sesuatu yang dapat diamati pancaindera. Itu
sebabnya hukum amat sering digunakan dalam penelitian tentang hal-hal
yang dianggap terlihat dan terukur.
Dalam IP&I,
penggunaan hukum banyak dilakukan untuk kajian bibliometrika. Ada tiga
hukum yang kemudian juga dikenal sebagai rumus utama dalam bibliometrika
yaitu hukum Lotka tentang produktivitas sebuah bidang ilmu (Lotka’s Law of Scientific Productivity),
hukum ketersebaran dari Bradford (Bradford’s Law of Scattering), dan hukum
kemunculan kata dari Zipf (Zipf’s Law of Word Occurrence). Perlu
diketahui, bibliometrika berkembang dari ketertarikan ilmuwan pada awal
abad 20 tentang dinamika ilmu pengetahuan sebagaimana tercermin dalam
produksi literatur ilmiahnya. Produk literatur ini tentunya adalah sesuatu
yang terlihat dan terukur. Itu sebabnya bibliometrika menggunakan statistik
dan pada awalnya disebut 8 “statistical bibilography”. Sebagaimana
diuraikan Hertzel (2003), sejarah bibliometrika kemudian memperlihatkan
perubahan ketertarikan menggunakan statistik untuk mengkaji perkembang
literatur ilmiah ini dari “statistical bibliography” menjadi “bibliometrics”. Ia
membuat tabel kronologi sebagai berikut:
Tabel 1 Kronologi awal “statistical bibliography” sampai “bibliometrics” Tahun
|
Pengarang dan
judul
|
Terbitan
|
1917
|
Cole, F.J dan
Eales, N.B. “The history of comparative anatomy. Part 1. A statistical
analysis of literature.
|
Science Progress,
vol. 11, April 1917, hal. 578 – 596
|
1922
|
Hulme, E. W.
Statistical Bibliography in Relation to the Growth of Modern Civilization.
|
London : Butler
and Tanner Grafton, 1923
|
1938
|
Henkle, H.H.
“The periodical literature of biochemistry”
|
Bulletin of
the Medical Library Association, vol. 27, 1938, hal. 139 – 147
|
1943
|
Gosnell, C.F.
The Rate Of Obsolescence In College Library Book Collections As Determined
By An Analysis Of Three Select Lists Of Books For College Libraries
|
Disertasi, New
York University, 1943
|
1944
|
Gosnell, C.F.
“Obsolence of books in college libraries”
|
College and
Research Libraries, vol. 5, March 1944, hal. 115 - 125
|
1948
|
Fussler, H.H.
Characteristics Of The Research Literature Used By Chemists And Physicists
In The United States
|
Disertasi, University
of Chicago.
|
1949
|
Fussler, H.H.
“characteristics of the research literature used by chemists and physicists
in the United States”
|
Library Quarterly,
vol. 19, 1949, hal. 19 - 35
|
1962
|
Raisig, L.M.
“Statistical bibliography in the health sciences”
|
Bulletin of
the Medical Library Association, vol. 50 July 1962, hal. 450 - 461
|
1966
|
Barker, D. L.
Characteristics of the Scientific Literature Cited by Chemists of the
Soviet Union
|
Disertasi, University
of Illinois.
|
1968
|
Pritchard, A.
“Computers, Statistical Bibliography and Abstracting Services”
|
Tidak diterbitkan.
|
1969
|
Pritchard, A.
Statistical Bibliography: an Interim Bibliography
|
North-Western
Polytechnic School of Librarianship, May 1969
|
1969
|
Pritchard, A.
“Statistical bibliography of bibliometrics”
|
Journal of Documentation,
vol 25 Desember 1969, hal. 348 – 349
|
1969
|
Fairthrone,
R.A. “Empirical hyperbolic distribution for bibliometric description”
|
Journal of Documentation,
vol 25 Desember 1969, hal. 319 – 343
|
1970
|
Pritchard, A.
“Computers, bibliometrics and abstracting services”
|
Research in
Librarianship, September 1970, hal. 94 – 99.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar